Tuesday, June 12, 2007

Hajat Puisi, 2004

Baca Puisi di Wapress Bulungan
oleh Can
Kompas/ Minggu, 01 Agustus 2004

PENYAIR Yonathan Rahardjo, Senin (2/8) pukul 19.30 akan membacakan puisi-puisi terbarunya di Warung Apresiasi (Wapress) Bulungan, Jakarta Selatan. Yonathan sebelumnya pernah aktif di sebuah LSM lingkungan serta menjadi wartawan di sebuah media. Penyair yang juga dokter hewan ini dikenal dengan puisi-puisi kontekstual dan sosial. Kritik-kritiknya tajam, kendati dibalut dengan bahasa yang telanjang. (*/CAN)

Komnas HAM, 2005



Memperingati HUT HAM dari Perspektif Budayawan

oleh: Sihar Ramses Simatupang
Sinar Harapan Selasa, 27 Desember 2005

Jakarta – Kebebasan dan keleluasaan pameran seni, pers yang bebas juga penerbitan buku pada pasca reformasi tidak akan berarti banyak jika tidak diimbangi penciptaan infrastruktur yang memadai dan fasilititas publik yang cukup dan strategis.

Hal itu yang dikemukakan oleh sastrawan Radhar Panca Dahana dalam salah satu sesi diskusi yang bertema Budaya dalam Perspektif Hak Asasi Manusia yang diadakan oleh Komnas HAM Sub-Komisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta (23/12).

Radhar, yang ditempatkan dalam Sesi II bersama pengamat seni Edi Setyawati dan Sri Warso Wahono itu kemudian membeberkan ironi bagaimana fenomena itu lebih kepada perluasan pasar. Dalam makalahnya, Radhar menyebutkan betapa masyarakat menjadi saksi bahwa negara masih begitu getol menarik pajak honorarium penulis yang didapat jauh dari kebutuhan minimum.

Negeri yang kalah, begitu kiasan Radhar saat menyorot masalah seni, kebudayaan bahkan pendidikan di negara ini. Hal itu bila dia hubungkan dengan bagaimana negara yang belum cukup memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya pada pendidikan, rumah dan pangan lantas menggencet dengan kebijakan ekonomi yang menyengsarakan.

Sri Warso Wahono kemudian menjabarkan kapitalisme global yang di sisi lain menggempur kondisi negara sehingga mengakibatkan pergeseran di masyarakat, dari karakter yang bergotong royong dan kebersamaan menjadi karakter individualitik, konsumerisme dan kapitalistik. Seperti lingkaran pesimisme dalam lingkaran seni dan kebudayaan Indonesia, dengan pertanyaan: “Ketika simpul penentu kreativitas ditumpulkan oleh perubahan pranata hidup, tanpa kekuatan fondasi budaya yang kuat, apakah kreativitas masih bisa diharapkan?

Edi Sedyawati, lebih menanggapi persoalan seniman dalam konteks kebangsaan kepada persoalan identitas, termasuk antara suku bangsa dan nasionalisme yang ada. Termasuk fenomena media budaya elektronik, televisi, komputer yang bersifat massa dan populer, industri budaya besar banyak yang dilokalisasi dengan warna lokal demi merebut pasar, sedangkan produk Indonesia banyak juga yang telah menjadi epigon dari resep produk budaya negara industri maju. Negara, Intelektual dan Seniman.

Diskusi yang diisi dengan pembacaan puisi antara lain oleh Yonathan Rahardjo itu diadakan sehubungan peringatan Universal Declaration of Human Rights 10 Desember 1948 itu. Diskusi, memang lebih mengarah kepada dua hal, pertama dari sisi internal kebudayaan itu sendiri, sedangkan kedua lebih mengarah pada faktor eksternal kebudayaan yang terkait soal hukum, kondisi sosial-politik kenegaraan.

Pembicaraan pada Sesi I yang menghadirkan Mudji Sutrisno, Garin Nugroho dan Habib Chirzin membicarakan persoalan eksternal dari obyek seni seperti agenda pasca ratifikasi ICESCR (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights). Intinya pengusahaan berupa perlindungan terhadap hak atas seni dan budaya. Hal itu perlu diratifikasi dan dilaksanakan secara tegas dalam pelaksanaan peraturan dan undang-undang, termasuk hak-hak sipil dan politiknya.

Pada pasal 15 ICESCR itu, tercantum bahwa negara mengakui setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, menikmati manfaat kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya, memperoleh keuntungan dan perlindungan atas kepentingan moral dan material yang didapat dari karya ilmiah, sastra atau seni apa pun yang telah diciptakannya. Juga negara berjanji untuk menghormati kebebasan mutlak yang diperlukan untuk penelitian ilmiah dan kegiatan kreatif. *

kirim email ke: yonathanrahardjo@yahoo.com

HUT RI DKJ, 2004


Malam Renungan Kemerdekaan Bersama DKJ

Koran Tempo/ Senin, 16 Agustus 2004

JAKARTA -- Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan "Malam Renungan Kemerdekaan Indonesia" untuk menyambut dan memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-59. Acara yang menjadi tradisi tahunan DKJ ini akan diadakan pada 16 Agustus 2004 di pelataran parkir Taman Ismail Marzuki dan dimulai pukul 16.30 WIB hingga pukul 02.00 WIB.

Selama hampir 10 jam acara tersebut akan diisi dengan serangkaian acara kesenian, mulai dari pembacaan puisi dan cerpen, pentas teater, pentas tari, pentas monolog, pertunjukan musik, sampai pemutaran film layar tancep. Sejumlah seniman yang memastikan akan tampil dalam acara renungan itu, antara lain Yonathan Rahardjo, Rukmi Wisnu Wardhani, Akidah Gauzilah, dan Wowok Hesti Prabowo. Mereka ini akan tampil membacakan karya puisi dan cerpen mereka.

Sementara itu, acara musik akan dimeriahkan oleh Konser Rakyat Leo Kristi, Kelompok Penyanyi Jalanan, serta Lenong Sedih KPJ Rangkas Bitung, sebuah kelompok musikalisasi puisi yang baru saja menang dalam lomba musikalisasi puisi se-DKI Jakarta. Lantas sebagai puncak acara, renungan kemerdekaan akan disampaikan oleh Remi Sylado, seorang seniman teater, aktor film, penulis serta budayawan.

Pangan Lokal, 2006



Syair Tsunami, 2005

PULIHKAN Aceh

Munir digulung Aceh
Tahun Baru digulung Aceh
Imlek digulung Aceh

Pulihkan Aceh

kau tak kan mampu
kembalikan
jasad kami

Yonathan Rahardjo/ Jakarta, Januari 2005
Buku Antologi Puisi MahaDuka Aceh, PDS HB Jassin, 2005


Dibaca pada Malam Kepedulian Seniman Tsunami Aceh di Galeri Nasional Januari 2005

Tragedi 65, 2004




MENENGOK KE BELAKANG, MENGINTIP KE DEPAN(1965-2004)

oleh Bayu Abdinegoro sastrapembebasan@yahoogroups.com

Itulah tema yang menjadi backdrop acara yang digelar di PDSHB JASSIN TIM, 5 Oktober 2004. Dimotori oleh PEC, JAKER,IKOHI, #SP#, dll. Tentunya yang punya hajat Herilatief.Hadir didalamnya Sitor Situmorang yang baru saja berulangtahun ke-80, memberi wejangan bagi kaum muda danmembacakan juga satu puisinya.

Malam itu membuat kesan tersendiri bagi saya (narcxist),karena bisa "TEMU DARAT" sama rekan2 #SP#.. Mba Mira (LaLuta Continua!) Kang Sarabunis dkk langsung dari Tasiksengaja hadir bareng sama (Kang Saeful Badar, Kang Yusran,dll.. maap lupa) Trus ada juga Kang Aguk Irawan yang bakal launching bukunya di tempat yg sama tanggal 14 Oktober nanti.Katanya juga ada mBin (tapi sayang kite gak sempet tatapmuke.. hehe..) trus ada mba Cecil juga. Ada Yonathan Rahardjo yg baca puisinya itu, HEeeeBooohhhh!!! hahaha... Bung Sihar juga.. Pokoke Top dah.

Tentunya agak haru bisa ktemu langsung, krn biasanya cumaketemu jari2 di layar kompi doangg... yaahh ngobrol ngalorngidul lah ditambah malam hujan...Saya tak jago bercerita ini... huh

Secara keseluruhan, malam itu berbicara bahwa setiap orangmempunyai kebebasan dalam mengekspresikan diri.. dan jika menilik ke tahun 1965 dimana perbedaan ideologi/pemahamanpikiran bisa menyebabkan suatu tragedi yang kita semua nggak mau itu terulang. Akibat dari ulang orang2 yang hanyamementingkan kepentingan dan apalah namanya itu yang jelashampir dari segala bentuk kebebasan berekspresi menjadi beku... mati di masukin kotak. Bungkam bahkan mengorbankan orang2 yang tak bersalah.

Sungguh hal yang tak kita ingini terulang, jika saja masing2membuka mata demi perbedaan... dalam hal apapun sebab,mengutip sms kang Herilatief : Kebebasan sebagai bentukkebebasan hati nurani.Yaaa... itulah yang mungkin coba diangkat dalam tema PentasPuisi kemarin.. Semua unek2 sebagian yang pernah hadir di'belakang' duduk bersama dalam satu ruangan bersamadengan para 'orang-orang muda' mencoba mengintip ke depan.Menjadikan pengalaman sebagai suatu pelajaran yang berartibagi kebaikan masa depan.

Saya sendiri agak kaget dan tegang, karena berada bersamaorang-orang yang dulu pernah dicekal dan mungkin jadi 'orangbuangan'... tapi saya menikmati acara tersebut sebagai Refleksi Pribadi (narsis banget... hehehe)

Truss apalagi ya???Oh, Kang Aguk itu baca puisi 'Spontan'... Canggih sekali dia..makan apa orang itu?? haha.. salut fren! Oh kemarin Kang aguk dapat julukan dari Sarabunis sbg SURVEYOR #SP#... hahahaa

Kang Sara, kagak nyangka... kurus hitam2 pake "Blankon Tasik"wuisss... : Penyair Serius itu Merokok!!! hahaha...
Kang Herilatief : speechless...
Mba Mira : Fotonya di taruh di Milis ya
mBin : Kenapa tak baca kemarin? apa baca?
Yonatan Rahardjo : Edan!!! hahahaa... Asik gayanya kocak seruekspresif!
Dlll : Senang kenal dengan teman2 #SP#

Segitu dulu jek!
Uhuuuyyyy!!!

Wassalam

*N*

===

kirim email ke: yonathanrahardjo@yahoo.com

Labirin Luka, 2005



Nurani KOREK JUMBO

Katakan benar kau sekongkol tutup awan
Lafalkan ya kau hambat pemeriksaan
Ujarkan jujur, kau tutup masalah, tuk
Buat rasa salahmu makin kuat buat bejat
Penguasamu
Yang sekarang masih sungguh benar kuasa
Perkasa, mahadaya di negeri
dengan menghisap kami, darah,
nan bikin negeri ini ada
Yang punya hak sama
Duduk di kursi kebersamaan dan
meja perjamuan sederajat

Akui, kau masih punya telinga utuh
tuk sampaikan nurani semesta kepada nurani dadamu
seperti sayangmu pada anak, istri,
cucu, darah, dagingmu sendiri
kami, kamu, mereka, kita, manusia-manusia, wajah-wajah, orang-orang, darah-darah, airmata-airmata, daging-daging, jiwa-jiwa, hati-hati, semua-semua.
Semua-semua adalah kamu juga, yang mestinya tak kau
Hilang paksa, mati perkosa,
mampus terhunus,
tewas teracun,
lunglai dan nyawa terbang hilang, sekedar
Untuk menyelamatkan posisi kuasa dan hasrat hidup terhormat sendiri, tanpa ancaman bunga-bunga kebenaran
yang jadi korek
kuping buntu
mu
yang patut dibedah bunga kebenaran
setajam nuranimu sendiri.


Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 10 Nopember 2005
Buku Antologi Puisi untuk Munir Nubuat Labirin Luka,
Sayap Biru, Aceh Working Group, 2005
Dibacakan pada Pentas Nubuat Labirin Luka, Warung Apresiasi Bulungan 2005

kirim email ke: yonathanrahardjo@yahoo.com

Labirin Luka Munir, 2005

DI-MUNIR, DI LABIRINNYA
Daun dedaun tak lagi hijau segar
coklat tua warnanya jalari sluruh kuning muka
Kering, retas dan lapuk
Luruh dan jatuh, melayang, lemas,
mati.

Dedaunan musim gugur nan layu di tanah putih
jemput matimu
tanpa penjelasan hakiki
di atas garuda bersayap hitam misteri
tembus kabut emas
kedok dari kain gombal
Sisakan mahakuatnya kuasa
menggurita
Melilit
Sedot sumsum tulang sampai kering
sisakan mata pincing
cacah curiga
sesak selidik
Merengas darah kering
Makin kilap
Silaukan mata
Tumbuh sehat merdeka bersama.
Yang kau
jaga sedari lahir
kelola selaksa waktu
juangkan sejurus mata
gegapkan
Tembus malam
kilatkan terik siang
Hak Azasi Anak-anak Manusia
Dengan handai taulan
dan
Istri
tercinta

Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 8 Nopember 2005
Buku Antologi Puisi untuk Munir Nubuat Labirin Luka, Sayap Biru, Aceh Working Group, 2005





Sebuah Sajak Luka buat Munir


oleh Sihar Ramses Simatupang
Sinar Harapan/ Sabtu, 10 Desember 2005

JAKARTA – Simpati pada Munir nyaris dimiliki setiap orang yang peduli pada perjuangan kebenaran dan hak asasi manusia. Itulah yang terlihat dalam antologi buku puisi simpati buat Munir berjudul “Nubuat Labirin Luka-Antologi Puisi Untuk Munir“ yang akan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin, Minggu (11/12}.

Buku yang pada sampul depannya berisi teks-teks huruf memunculkan siluet wajah Munir berwarna hitam putih itu, memuat karya 45 penyair. Momen peluncuran ini selain akan didiskusikan oleh Koordinator Kontras Usman Hamid, istri Munir Suciwati, pengamat sastra Asep Sambodja (dosen FIB-Fakultas Ilmu Budaya UI), juga akan digelar pembacaan puisi antara lain oleh penyair Henny Purnama Sari dan Yonathan Rahardjo.

“Kami terbuka untuk pembacaan, juga sedang diusahakan agar Romo Sandyawan ikut membacakan puisinya,” jelas Dino F Umahuk, Koordinator Sayap Baru. Dino F Umahuk mengungkapkan bahwa selain dimaksudkan sebagai apresiasi para penyair terhadap pejuang HAM, juga diharapkan membuka ruang demokrasi, ruang kebebasan berekspresi bagi para penjaga gawang kesusastraan.

“Mereka mengirimkan karya lewat email atau pun mengirimkan langsung kepada saya,” ujar lelaki kelahiran 1 Oktober 1974 ini.Buku yang diterbitkan oleh Aceh Working Group (AWG) dan Sayap Baru ini, memang lebih mengedepankan persoalan tema berkaitan dengan perjuangan Munir yang berkaitan dengan kisah tragisnya.

Rusdi Marpaung, Koordinator AWG, menyambut baik upaya penyair untuk menyuarakan suara hatinya lewat pelurusan sejarah, kebenaran dan keadilan. “Semoga kasus kemanusiaan dan hak asasi manusia dapat dituntaskan agar kita benar-benar menjadi bangsa yang besar sesungguh-sungguhnya,” papar Rusdi.

Berbagai Generasi

Sebanyak 45 penulis yang mengumpulkan karyanya di antologi ini memang lintas angkatan. Beberapa nama antara lain Eka Budianta, Sutan Iwan Soekri Munaf, Sobron Aidit, Saut Situmorang, Hasan Aspahani, Frigidanto Agung, Donny Anggoro, Viddy AD Daery, Nanang Suryadi, Setiyo Bardono, Muhammad Muhar, Mega Vristian, David C Nainggolan, Ben Abel, Denny Ardiansyah, memperlihatkan simpati muncul dari generasi dan kalangan yang berbeda.

Puisi yang disajikan pun beragam, kebanyakan memang naratif. Beberapa karya ada yang punya efek liris. Contohnya, salah satu petikan sajak dari puisi “Doa Dalam Kubur” karya penyair S Yoga: Tuhan/di dalam kubur/perkenankan aku berdoa bagi mereka/untuk mengusut benang kusut/untuk mengurai kejelasan perkara/beri mereka kebebasan kata-kata sebening telaga/beri mereka kebebasan bicara seluas samudera.

Bahkan, pelajar yang masih menjalani sekolah menengah atas pun, Bimo Dirgantara Putra, ikut menuangkan karyanya dalam antologi itu. Isi di dalam puisi berjudul “Omku Munir Sudah Pergi” cukup menarik: Ada pesawat melintas di atas kepalaku/seorang bocah berteriak//”itu bapakku, mau sekolah ke Belanda//Kudongakkan kepala/Aku ikut bertepuk riang/Tiba-tiba awan hitam pekat menutup pandang mata/Guntur meledakkan sunyi/Seorang bocah menangis ngilu.

Menurut Dino, sekali pun momen penerimaan karya memang cukup singkat dua minggu lebih, sejak pertengahan November, namun karya mereka sangat variatif. Ini dapat dilihat dari titi mangsa tiap puisi dalam buku ini yang berbeda.Sebelumnya, buku ini pernah diluncurkan di Tenda Putih, Victoria Park, Hongkong (27/11) dibahas oleh Suciwati dan Sitok Srengenge.

Setelah peluncuran di Jakarta, menurut Dino F Umahuk, rencananya masih akan dilanjutkan dengan diskusi karya pada beberapa kota besar antara lain Bandung, Surabaya dan Malang.(srs)

kirim email ke: yonathanrahardjo@yahoo.com

Pas 9 IKJ, 2007


Rembulan Maroeli, 2004

Guyub Seniman Jakarta, 2005


Rumpun Jerami Bandung, 2004


Rumpun Jerami Bogor, 2004


Neo Hipta, 2006


Rumpun Jerami Tangerang, 2004


Juara Bojonegoro, 1981

Juara I Lomba Deklamasi tingkat SD sungguh berkesan sampai sekarang. Apalagi juaranya tingkat Kecamatan Bojonegoro Kabupaten Bojonegoro. Puisi Doa Kepada Pemeluk Teguh-nya Chairil Anwar kudeklamasikan dengan penuh penghayatan. Alhasil juara I.

Padang Bunga Telanjang, 2003


Pesta Karya Rahmat Ali, 2006


Kompas, 26 Maret 2006

Pembacaan Karya Rahmat Ali

Puisi-puisi dan cerpen karya Rahmat Ali akan dibacakan pada Senin (27/3) pukul 19.00 WIB di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta. Pembacaan karya Rahmat Ali melibatkan sastrawan-sastrawan seperti Sihar Ramses Simatupang, A Badri, Dino F Umahuk, Donny Anggoro, Henny Purnamasari, Irmansyah, Yonathan Rahardjo, Rara Gendis, Retno Budiningsih, dan Henny Purnamasari. (*/CAN)

Invasi Amerika, 2003


Lukisan Aisulyanto, 2004


Lukisan Hary S, 2004


Apsas 2 Tahun, 2007

“Laporan Awal Syukuran 2 Tahun Apsas di ak.’sa.ra,”

oleh Kurnia Effendi
http://groups.yahoo.com/group/Apresiasi-Sastra/ Senin, 29 Januari 2007

Sekali lagi saya ucapkan: selamat ulang tahun kedua untuk Apsas.

Syukuran yang digelar di toko buku ak.’sa.ra hari Minggu tanggal 28 Januari 2007 antara terduga dan tak terduga, dihadiri oleh 74 orang (sesuai daftar hadir), hampir 10% dari jumlah anggota yang tercatat hingga Minggu pagi oleh Akmal: 766 orang.

Ketika saya tiba di halaman parkir dan menelepon Sang Ketuplak (Ketua Pelaksana) Yo Sugianto, ternyata dia dan tim “menginap” di ak.’sa.ra untuk mengatakan bahwa seksi sibuk itu datang sebelum toko buka.

Dalam perjalanan seusai menghadiri akad nikah adik ipar penyair Fikar W. Eda di Masjid Sutan Takdir Alisyahbana Universitas Nasional, saya kontak sms dengan Akmal yang juga baru usai mengikuti pengajian pagi di Masjid Sunda Kelapa.

Demikianlah, pagi di toko buku ak.’sa.ra tak seperti biasanya, karena ruang tengah tampak dilonggarkan dan sejumlah apsasians sedang mengatur ini-itu, loading ini-itu, dan begitu guyub meskipun para “bidadari” itu tidak memasang emblem “dharmawanita” di dada mereka.

Yang mengagumkan, sudah ada Tanzil yang pipinya montok, Adi Toha dan Dhiphie, kita ketahui mereka berangkat dari Bandung tentu sangat pagi. Mang Jamal yang serombongan dengan mereka rupanya selingkuh dulu dengan Pertamina dalam acara 1001 Buku, sebagai narasumber.

Saat saya menurunkan koleksi kartu pos dan buku yang akan dipamerkan, sudah tertata rapi sejumlah koleksi bible dari Kang Tanzil, pembatas buku rajutan dari Mbak Arleen, dan kartu pos kiriman Kang Sigit, juga 6 buah lukisan cantik dalam ukuran yang seragam karya Wanda Leopolda.

Sementara kudapan terus ditata di meja dan betapa aneka ragamnya, mulai dari kopi, greensand, teh walini, lemper sampai keripik belut. Iit dari Bandung mengabarkan baru berangkat membawa sendiri brownies kukus Bawean.

Jadi pagi itu tak kurang ada Om Yo, Sahlul, Rita Achdris, Mbak Ochi, Epri Tsaqib, Abang Edwin, Fitri, Krisdian, Feby Indirani, Rilla Romusha, dst, maaf jika ada yang tak tersebutkan seperti sang dokumentator resmi, dan Dedy Tri Riyadi, Tiur. Menyusul Dino F. Umahuk dan Lia, Bung Kelinci sekeluarga, Ita Siregar, Ana Mustamin, Misbach, Olin Monteiro, Pak Rahmat Ali, Yonathan Rahardjo, Dumaria Pohan, Manaek Sinaga, Setiyo Bardono dan isteri, Milla pena bulu angsa, dan sulit ditengarai lagi karena susul menyusul hingga Akmal and his family yang kemudian agak tergesa mengabarkan bahwa Bang Remy Sylado harus dijemput di Cipinang Muara.

Acara mulai agak terlambat, dibuka oleh Dino dan Rilla (kita singkat menjadi Dorilla? Jangan ya?), dilanjut oleh sambutan Vivian Idris selaku tuan rumah dari pihak ak.’sa.ra, lantas pembacaan sambutan Sigit Susanto sebagai wakil moderator oleh Tanzil, sementara Akmal menjemput Bang Remy.

Acara berlanjut dengan perkenalan, sampailah yang agak mengejutkan, karena ada bule yang saya pikir kesasar, namun ternyata memang hendak mengikuti acara Apsas. Namanya pasti bule tapi di Indonesia dia dipanggil Mas Yanto, ini yang membuat kita tertawa sekaligus terharu ketika dia menyatakan hendak masuk milis dan bersemangat mengikuti acara sastra (kenyataannya ia hadir hingga ujung acara).

Setelah itu pertunjukan monolog digelar oleh Bung Iwan Kelinci dengan menampilkan Maya Sekartaji, alumni STBA, diteruskan dengan gitaris Fano menyanyikan 4 lagu, satu di antaranya dengan vokal Bung Iwan membawakan Bunga Terakhir karya Beby Romeo. Sesudah atau sebelumnya ada penyerahan souvenir sumbangan Ana Mustamin. Saat itulah, kalau tak salah, Iit Omunium tiba dari Bandung.

Karena waktu menunjuk pukul setengah satu, kami pun istirahat untuk sholat dan makan. Saat itu tiba Damhuri Muhamad dkk. Juga Anya Rompas dan Tiara dari Bunga Matahari.

Sesi berikutnya dibuka dengan pembacaan puisi bahasa Prancis oleh Pak Rahmat Ali. Saya melihat Remy Soetansah dan Arief Wicaksono dari rumah Musik Indonesia hadir dalam ruangan ituSementara Bang Remy Sylado sudah standby. Diskusi pertama digelar, Bang Remy didaulat ke meja pembicara dan saya menjadi second speaker dengan moderator Akmal. Kami berdua bicara tentang proses kreatif.

Secara terpisah akan dibahas mengenai isi diskusi yang cukup meriah itu oleh siapa saja yang hadir dan menyimak. Satu jam berlalu, disusul dengan acara-acara yang slih berganti antara lain (urutannya tak ingat benar karena begitu mengalir susul menyusul dengan antusiasme yang tetap tinggi): pembacaan puisi Sihar Ramses Simatupang, diksusi buku puisi “Di Lengkung Alis Matamu“ Yo Sugianto, “Biru Hitam Merah Kesumba“ karya 4 perempuan bukan penyair (Olin Monteiro, Lulu, Oppie Andaresta, Vivian Idris), diskusi buku Damhuri Muhammad dan Mang Jamal dengan pembicara Ita Siregar, pembacaan puisi Tiara, Yonathan Rahardjo, Urip Herdiman Kambali, pembacaan cerpen Buntelan oleh pengarang indie super indie (karena mencetak sendiri menjlid sendiri menjual sendiri) A. Badri AQT. Ditutup dengan pembacaan puisi Epri Tsaqib.

Setiap diskusi yang berlangsung, ada hadiah bagi yang mengajukan pertanyaan kepada pembicara maupun pengarangnya. Asyik kan? Mereka yang beruntung pulang membawa banyak oleh-oleh.

Seperti layaknya sebuah pertemuan, diakhiri dengan foto bersama yang sangat heboh. Tapi memang tak ada pesta yang tak berakhir. Kita semua harus membersihkan ruangan dari materi pameran dan makanan (seperti pulang arisan, kita pulang bawa kueh). Sebelum saya pamit untuk mengantar Ita Siregar dan Tiur, tentu memandang Om Yo yang tampak letih setelah didera oleh persiapan luar biasa tapi tetap menyungging senyum lugu dan pemalu.

Selamat untuk semua yang telah saling bahu-membahu hingga terselenggaranya acara Syukuran 2 Tahun Apsas, yang diharapkan oleh Vivian Idris agar bisa secara triwulanan menggelar pertemuan. Sebuah silaturahmi yang ternyata begitu hangat, media komunikasi langsung sekaligus untuk ajang tukar menukar karya, pemberitahuan acara pribadi, dan pembelajaran yang tulus.

Ini tentu laporan yang tak detil dan lengkap. Jadi harap disambung atau ditambahi oleh yang lain-lain. Bagi yang tak sempat hadir, terima kasih atas sumbangan kudapan dan pajangan pamerannya, juga doa yang dipanjatkan.

Salam untuk semua.

Wajah Slamet AW, 2004


Membaca Setiyo, 2007

Landung Membaca Pinurbo, Yonathan Membaca Setiyo

oleh Setiyo Bardono

Apa yang terjadi ketika sebuah panggung yang sudah ditinggalkanpenyairnya, tidak segera berkemas? Ternyata ada beberapa penyair diluar panggung yang tiba-tiba berkemas menggelar pertunjukan yang takterduga. Maka ketika Landung selesai membaca Pinurbo, Yonathan lantang membaca Setiyo. Lho bagaimana bisa?Tentu saja acara Yonathan Membaca Setiyo tidak ada dalam agenda,bahkan tidak terbersit sedikitpun sebelumnya. Pengunjung Toko BukuAksara, Kemang malam itu (25/5) sengaja datang untuk menghadiri acara peluncuran buku terbaru penyair Joko Pinurbo bertajuk Landung Membaca Pinurbo.

Malam menjadi hangat ketika Penyair Landung Simatupang mulai membaca puisi-puisi Joko Pinurbo yang terangkum dalam kumpulan puisi KepadaCium dan kumpulan antologi Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung. Beberapa penyair terpancing untuk ikut membaca puisi, apalagi ada hadiahnya. Ya, siapa yang tidak berminat membaca Pinurbo.

Tapi panggung harus bungkam tersihir mantra penghabisan pembawa acara. Kata-kata penutup ternyata memang lebih sakti. Mungkin karena pembawa acara sudah begitu akrab dan memahami kegelisahan sang waktu, sementara penyair banyak yang lupa waktu dan insomnia.Selalu ada acara tak resmi di sebuah pertunjukan. Joko Pinurbo kemudian sibuk dikerumuni wartawan dan dimintai tanda tanganpenggemar. Landung Simatupang berbincang-bincang dengan entah siapa,mungkin teman lama. Panggung yang ditinggalkan empu-nya tak juga berkemas.

Panggung yang kosong itulah yang menggelitik penyair Sahlul Fuaduntuk mengisinya dengan peluncuran buku puisi Setiyo Bardono,Mengering Basah. Ide itu diamini oleh Yonathan Rahardjo dan beberapa penyair yang sedang berbincang-bincang sambil lesehan. Sebetulnyaide nekad itu muncul setelah pertanyaan kapan buku Mengering Basahakan diluncurkan tak jua bisa dijawab oleh penulisnya. Jadi mengapa tidak sekarang saja?

Setelah meminta ijin, peluncuran nekad itu ternyata mendapat restudari Vivian, sang tuan rumah. Tanpa basa-basi, dengan gaya yang cengengesan Sahlul Fuad segera menguasai panggung dan memintaperhatian pengunjung tentang acara peluncuran dadakan Buku AntologiPuisi Mengering Basah. Sepertinya penyair satu ini memang berbakatmemimpin event organizer. Kelak mungkin akan ada SaFu-SaFu (SahlulFuad) Production. Kita doakan saja.

Yang mendadak-mendadak biasanya bisa menjadi seru. Apalagi ketikapenyair-penyair yang turut menyemarakkan acara tampil apa adanya. Puisi Balai Sarbini yang dibacakan begitu memukau oleh penyair Yonathan Rahardjo harus mengalami jeda sejenak karena sang penyair harus menyeka mulutnya karena, "muncrat." Puisi Peniti pun mengalaminasib yang sama karena pembacanya, Pakcik Ahmad harus mengangkattelepon genggam-nya yang tiba-tiba menjerit. Kegelisahan dari rumahmemang harus segera dijawab. Sebuah peristiwa yang sepertinya takakan pernah ada dalam acara peluncuran buku dimanapun.

Yang mulus tanpa gangguan teknis adalah pembacaan puisi MenanamJagung oleh penyair Dedi Try Riyadi. Bangwin dari ArusKata Pressterlihat santai dalam mengucapkan sepatah kata dari penerbit. Yangpaling panas dingin tentu saja penulis buku Setiyo Bardono. Kalau dilagu dangdut pasti syairnya berbunyi, "Mukamu pucat rambut acak-acakan."Tentu saja lelaki yang satu ini tidak siap mental menghadapi acaradadakan itu. Tangannya gemetaran ketika membaca puisi, apalagisebagaimana diakui olehnya bahwa malam itu dalam saat pertama membaca puisi di depan forum. Tangan gemetar itu sebenarnya efeklanjutan dari todongan menandatangani buku puisi oleh beberapa orangyang membeli buku itu di sela-sela acara Landung Membaca Pinurboberlangsung. Alhamdullillah 15 buku yang dibawa Bangwin, sold out.

Acara Yonathan Membaca Setiyo kemudian dilanjutkan dengan wisatakuliner beberapa penyair Pakcik Ahmad, Bangwin, Dedy Tri Riyadi,Kinu (?), Inez Dikara dan Widy, di warung bubur ayam di jalanBarito. Rasa bubur ayam semakin gayeng setelah penyair JohannesSugianto menyusul sambil membawa Joko Pinurbo. Sayang stok buburayam sudah habis hingga Joko Pinurbo terpaksa memesan Siomay.

Tapi acara tidak berlanjut menjadi Jokpin Membaca Siomay, karena adabanyak hal yang dibicarakan, termasuk cerita pengalaman Jokpin waktuDialog Tujuh Jam dengan topik "Puisi dan Mistik". Seperti pembawaacara sebelumnya, tenyata penjual bubur dan penjual disekitarnyajuga begitu akrab dan memahami kegelisahan sang waktu, sementarapenyair kadang lupa waktu. Maka isyarat dari tenda-tenda lain yangsudah dibongkar memaksa penyair-penyair itu membubarkan diri.

Malampun semakin larut bersama kenangan yang tidak mungkinterlupakan.

Depok, 27 Mei 2007
Setiyo Bardono

#Terima kasih atas dukungan dan perhatian yang tak terhingga dariteman-teman penyair

JPL Borobudur, 2000


Imakahi Bogor, 2005


HA Karim Mahanan, 2002


HUT RI MSJ, 2004

Program Profesi PLH, 2000


HUT Jakarta, 2005


Kemerdekaan RI MSJ YinHua, 2005


Lomba Baca Karya Zawawi Imron, 1984


Pernikahan M Iksan, 2003


New Year JISDAC, 2006


Perlawanan Revitriyoso, 2006


Bibiana, 2005


Temu Kangen Seniman, 2007


Temu Kangen Koekoesan, 2007


HUT AJI, 2004


Peluncuran Buku Rahmat Ali, 2005


Lanang Lampion Sastra, 2007


Lanang Peluncuran ETSA, 2007


HUT Wiji Thukul, 2007



Sore ketika aku sedang online di depan komputer, sebuah telepon masuk ke HP-ku langsung minta aku supaya membaca puisi pada acara uang tahun Wiji Thukul. Aku tanya siapa dia, sebab nomornya tak kukenal. Ternyata temanku sendiri, Idaman Andarmosoko. Aku tanyakan kapan waktu pementasannya, ia jawab besok, 26 Agustus 2007, malam, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Aku langsung jawab, "Siap. Kita dukung setiap pergerakan kebaikan."

Besoknya, siang ketika aku sedang terbaring di tempat tidur di kamar kosku, sebuah telepon pun memanggilku, namun sayang HP-ku tidak dalam kondisi terbaik, sehingga beberapa kali ia telepon aku tak sanggup menjawabnya. Kuminta orang yang menghubungiku itu untuk meng-SMS saja. Aku pun dapat SMS dengan isi sama dengan permintaan Idaman, seperti ia bilang panitia akan menghubunginya. Aku pun menjawab, "Siap. Makasih. Hanya satu kata: lawan!"

Juga seperti yang Idaman bilang, panitia itu ternyata juga minta bila ada teman lain yang ikut berpartisipasi. Aku pun menghubungi Sihar dan Badri melalui SMS. Aku memang punya nama-nama yang lain, namun pada saat ini aku berpikir, pemanggungan baca puisi membutuhkan orang yang bagus bila membacakannya di panggung, bukan sekedar penyair yang pandai menulis namun tidak pandai membacakannya.

Akankah aku membaca puisiku sendiri sebagaimana selama ini kulakukan dalam pembacaan-pembacaan puisi? Ataukah aku membaca puisi Wiji Thukul sebagai penghargaan untuknya pada acara ulang tahun Wiji Thukul ini? Rasanya aku lebih condong untuk membacakan puisi-puisinya, namun aku pun tidak mau semata membacakan sebab aku pun berkarya puisi, sehingga kuputuskan aku membaca dua puisi: satu karya Wiji Thukul dan satu karya puisiku sendiri.

Sebagaimana ada dalam benakku semula, aku pun mempunyai kumpulan puisi jawaban kekacauan, nafas puisi yang sejalan dengan puisi-puisi Wiji Thukul. Kini tinggal aku memilih puisi mana itu, dan puisi Wiji Thukul mana yang akan berdampingan dengan puisiku.

Sementara jaman sudah berubah tidak lagi seperti masa Wiji Thukul masih hidup, kini aku mesti mencari puisi-puisi perlawanan mana yang mewakili kondisi kekinian, di mana penculikan tak lagi terdengar, sepatu lars panjang menginjak kepala tak lagi terdengar, kerusuhan di mana-mana pun tak lagi terdengar, namun ada kondisi-kondisi yang masih memprihatinkan sebagaimana yang ditulis Wiji Thukul dalam puisi-puisinya, seperti halnya puisi yang pernah kutulis!

Kelihatannya aku akan memilih puisiku JakartaKota-Bogor, namun rasanya puisi ini terlalu panjang. Maka aku memikirkan untuk memilih puisiku yang lebih pendek. Yang penting puisi ini sesuai dengan jiwa dalam perjuangan kaum kecil yang telah menjadi perhatian dalam puisi-puisiku dalam Jawaban Kekacauan, dan tentu saja sesuai dengan garis perjuangan Wiji Thukul.

Sedang puisi Wiji Thukul mungkin aku pilih tentang kucing dan orang lapar.

Kucing, Ikan Asin Dan Aku

Seekor kucing kurus
menggondol ikan asin
laukku untuk siang ini
aku meloncat
kuraih
pisau
biar
kubacok ia
biar
mampus

ia tak lari
tapi mendongak
menatapku
tajam

mendadak
lunglai
tanganku
-aku melihat diriku sendiri!

lalu kami berbagi
kuberi ia kepalanya
(batal nyawa melayang)
aku hidup
ia hidup
kami sama-sama makan

(Wiji Thukul)

Atau, setidaknya tiga puisi puncak yang menjadi puisi wajib kaum pergerakan, yaitu Isyarat, Bunga dan Tembok, dan Sajak Suara. Puisi-puisi ini masih relevan sampai saat ini.

Isyarat

Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

(Wiji Thukul)

Bunga dan Tembok

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun tirani harus tumbang!

(Wiji Thukul)


Yang harus menjadi kesadaranku adalah, puisi-puisi Thukul adalah puisi pergerakan melawan kelaliman, puisi perjuangan, puisi anti otoritarian, puisi-puisi yang mengilhami kemerdekaan berdemokrasi bangsa ini, yang juga dibacakan pada aksi-aksi demontrasi di jalanan, perjuangan untuk keadilan, menjadi hiburan bagi masyarakat peserta demontrasi bahkan penontonnya, menjadi penyegar suasana dalam terik panas penuh keringat di jalan-jalan berjubel massa!

Ada perbedaan mendasar antara puisiku JakartaKota-Bogor dengan puisi tentang kemiskinan yang ditulis Wiji Thukul. Ia memang hebat, menulis puisi dengan jiwa tidak pasrah menyerah seperti yang tampak pada puisi JakartaKota-Bogor. Kalau JakartaKota-Bogor yang kubacakan, tentu tidak akan cocok dengan semangat Wiji Thukul. Demikian pula puisi-puisi lainku yang sudah dimuat di media massa.

Bagaimana dengan puisiku tentang Munir? Rasanya sama. Bagaimana puisiku tentang PKI? Rasanya pun sama, kurang ada perlawanan ke luar seperti yang dipuisikan Wiji Thukul. Puisi-puisiku lebih bernuansa perlawanan ke dalam, lebih menonjolkan pergulatan nurani menjadi semacam himbauan kepada diri sendiri dan kepada pihak yang kupuisikan.

Sama-sama ada perlawanan, namun puisiku lebih bernuansa pemahaman situasi dan mempertanyakan agar diri sendiri kuat untuk mengalami dan melakukan pemberontakan dengan kekuatan dalam diri. Sedangkan puisi-puisi Wiji Thukul lebih menggugah perlawanan secara langsung. Dan tentu saja, kalau sudah berbicara konteks ini, apalah artinya aku ini.

Setidaknya aku masih punya banyak puisi di buku Jawaban Kekacauan, yang menyuratkan perlawanan secara langsung. Dan agaknya, di buku yang diterbitkan oleh Penerbit Majas yang lain tak lain adalah diriku sendiri, akan kuambil puisiku itu. Semoga aku berhasil dalam pembacaan kali ini.

Akhirnya aku membacakan sajakku sendiri, kugabung dengan sajak Isyarat-nya Wiiji Thukul, meski seusai pembacaan aku hanya bilang "Wiji Thukul", sebagai penekanan pada sajak Bunga dan Tembok-nya yang kubaca sebagai lanjutan dari sajakku:

Berarak pasukan berhati panas
disiram air bara mentari korupsi
berdentam langkah menuju istana
selesaikan masalah ini!
jangan membisu

bergerak barisan bara hati
didorong angin sayangi negeri
bergaung suara gelegar nurani
tuntaskan korupsi!
jangan menjadi batu...

(Yonathan Rahardjo)

Lalu berlanjut pembacaan puisi Bunga dan Tembok-nya Wiji Thukul. Dengan pembacaan masing-masing dua kali, dimulai dengan pengucapan yang tidak keras, pelan, dengan kecepatan pembacaan wajar, pembacaanku dengan pengulangan ini seperti pengucapan doa umat yang menyukai mantra untuk memberikan efek perasaan yang tersentuh, lebih memaknai dan terkesan pada kata-kata yang diucapkan. Inilah makna dan arti pembacaan pengulangan, seperti doa umat yang diulang-ulang pada Tuhannya.

Sajak 'Berarak Tuntaskan Korupsi' kubaca dua kali. Lalu Bunga dan Tembok juga dua kali. Pembacaan yang tempo dan intonasi-nya memuncak ini, memberikan efek tertentu pada pemahaman, dan puisi pun menjadi sampai kepada penonton, sekaligus mereka diberi suguhan atraksi pembacaan yang memainkan kata-kata, bunyi, nada dan sekaligus gerak tanganyang memegang kertas tulisan yang kubaca, sekalgus gerak kaki dan tubuh.

Tepuk tangan keras dan merata dari seluruh penonton, aku rasakan sebagai sambutan terhadap atraksi baca puisiku, yang bagiku adalah ilmu dan seni tersendiri, dan mesti harus dihayati, dijiwai dan perlu ketekunan berlatih terus-menerus. Tidak seperti pembacaan kali ini yang nyaris kulakukan belum selang satu hari setelah panitia meneleponku ketika aku masih berbaring tidur.. sehingga ketika kuminta komentar A Badri AQT terhadap pembacaanku, satu-satunya kritik darinya adalah: terlalu asyik dengan diri sendiri, kurang menyatu dengan penonton.

Benar juga, meski menurutnya dari segi pembacaan dan sampainya pesan kepada penonton tidak menjadi masalah. (Yonathan Rahardjo)

HUT 3 APSAS, 2008

7. Pembacaan puisi oleh Jonathan Rahardjo
http://indahsurvyana.multiply.com/video/item/26/Penampilan-Jonathan_Raharjo.wmv.3GP

Pembacaan Karya Dua Peserta Lomba ESAI HUT APSAS 3 itu
http://groups.yahoo.com/group/Apresiasi-Sastra/message/34774

Didaulat panitia untuk menjadi salah satu juri Lomba ESAI HUT APSAS 3 beserta Kang sigit Susanto, Minggu 17 Februari 2008 saya membacakan penilaian saya terhadap karya peserta di depan teman-teman hadirin Acara HUT APSAS 3 di Japan Fondation Jakarta.

Karena pesertanya hanya dua, Panitia mengatakan 'semua' peserta ini mendapat penghargaan, bingkisan dari panitia. Semoga sudah dikirim dan menerimanya.

Saya membacakan penilaian saya itu dalam moment ditembak untuk baca puisi mendadak, sekaligus untuk mencegah tampil 2 kali guna bagi peran dan kesempatan dengan teman lain, sebagai berikut:

Peserta 1: st F Ragil F (erpapabifa@..)
Karya: 'INVASI' JEPANG DALAM KESADARAN HISTORIS KESUSASTRAAN
INDONESIA

- Mengambil Hikmah dari penjajahan Jepang untuk menentukan KeIndonesiaan, yang nilai-nilainya dapat diambil dari sastra-sastra Indonesia tentang masa jepang, sampai karya terbaru/ terkini, bukan hanya sastra angkatan Jepang-1945.

- Lebih dalam pembahasan dan sintesa permasalahannya

- Bahasa/ pengungkapannya cukup berbelit dan rumit, banyak bahasa akademis/ bahasa ilmiah


Peserta 2 Dino F Umahuk
Karya: Menjadi Binatang Jalang atau Lonte Pemilik Modal

- Mengambil hikmah dari puisi/sastra perjuangan angkatan Jepang-1945 untuk menyikapi pergulatan pencarian identitas sastra Indonesia masa kini, khususnya Komunitas Apresiasi sastra.

- Lebih sepintas pembahasan dan sintesa permasalahannya

- Bahasa/ pengungkapan pembahasannya lebih mudah dipahami/ memakai bahasa populer.

Jelas terdapat perbedaan pandangan dua peserta terhadap karya sastra itu.

Karya sastra peserta 1 lebih menekankan jati diri keIndonesiaan berhikmah dari penjajahan Jepang kita dengan memakai sastra sebagai medium pembahasan. Dengan demikian, materi yang disampaikan lebih bicara pada masalah kebangsaan, budaya, 'narasi besar', dengan mengambil contoh karya sastra tentang masa Jepang sejak jaman Jepang/45 sampai karya termoderen.

Sedangkan karya peserta ke dua lebih menekankan dunia sastra tidak perlu menyerah dengan kondisi carut marut perkembangan sastra terkini, belajar dari perlawanan para sastrawan angkatan Jepang/ 45. Hal ini terutama ditujukan untuk komunitas Apresiasi sastra dalam rangka HUT yang ke 3 ini guna melangkah ke masa depan.

Dengan tidak adanya pemilihan juara lantaran terbatasnya peserta, diambil jalan tengah kedua karya tersebut sama-sama baik, dalam arti mempunyai manfaat sesuai dengan sudut pandang yang berbeda, memperkaya wawasan kita untuk mencermati kesusastraan Indonesia terkait dengan penjajahan Jepang yang kini bangsa Jepang mencoba memperbaiki masa silam itu dengan berbagai kerjasama termasuk dengan
adanya Japan Fondation yang memberi tempat pada Milis Apresiasi sastra untuk menyelenggarakan hajat HUT nya yang ke 3.

Semoga dua karya ini menegaskan benang merah yang terjadi antara bangsa kita dengan bangsa Jepang yang pernah melakukan hubungan antara Saudara Tua dan Saudara Muda pada Masa Perang Asia Timur Raya, yang ternyata merupakan suatu siasat belaka, menyisakan berbagai kepedihan dan hutang perang, yang kini mau tak mau harus kita hadapi apapun yang telah terjadi dan bakal terjadi antara 'dua saudara' ini.

Dua karya peserta ini merupakan MARTIR bagi generasi saat ini untuk tetap mengingat dan menengok sejarah bangsa ini, menegaskan jati diri bangsa ini, baik sebagai bangsa berbudaya dalam narasi besar, maupun dalam konteks komunitas-komunitas yang terus melakukan gerilya guna menyusun pondasi sastra dan budaya bangsa yang besar.

Artinya, apapun yang dilakukan dalam komunitas sastra Milis Apresiasi Sastra ini merupakan suatu tindakan yang sangat berarti dalam penguatan jati diri manusia, yang secara alami ternyata adalah manusia INDONESIA, yang mesti bergaul dengan manusia-manusia lain, termasuk mantan saudara tua: Jepang, menuju sasaran kemanusiaan yang
lebih luas sesuai harkat adanya manusia berbudaya dan beradab di bumi yang satu.

Terimakasih kepada 2 (dua) peserta lomba Esai yang telah melakukan sesuatu yang sangat berarti, 2 (dua) dari ratusan bahkan menuju ribuan anggota Milis Apresiasi Sastra.

Sekali lagi, semoga panitia segera atau sudah mengirim hadiahnya kepada kedua peserta kita. :))

Akhirnya, terimakasih kepada panitia yang telah memberi kepercayaan kepada saya untuk menjadi salah satu juri, dan terimakasih kepada teman semua yang meluangkan waktu untuk mendengar pembacaan 'puisi' hal ini di acara HUT 3 Apsas, dan meluangkan waktu untuk membaca laporan penilaian ini.

SELAMAT HUT 3 APSAS.....!!!! (terimakasih door prize-2-nya... hehe..)


salamnyamnyam,
yonathanrahardjo

Re: Kesan-kesan acara HUT Apsas ke-3

16 Pebruari 2008. Akhirnya, keraguan terkikis pelan-pelan. Mengumpulkan keberanian untuk datang ke sebuah pesta besar tidaklah mudah. Apalagi pesta sebuah komunitas sastra. Hujan yang tadinya akan menjadi alasan untuk mengurungkan niat berangkat, ternyata tidak muncul sejak pagi. Maka semesta pun seperti membisikkan panggilan mesra, menetapkan hati agar segera mengayun langkah.

Dominasi warna hitam itu terlihat sangat anggun. Dengan tata lampu yang sederhana namun tetap berkesan artistik. Temaram, begitulah pandangan pertama yang menyihir saya begitu memasuki ruangan. Karena datang terlambat, maka saya harus rela menempati posisi agak di belakang. Meski pun sebenarnya tidak menjadi masalah karena acara di gelar ala ¡lesehan¢ Jepang, sehingga tidak mempengaruhi pandangan ke arah stage. Apalagi didukung dengan sound system yang baik. Hanya saja, keinginan untuk mengambil gambar terpaksa harus diurungkan, karena dengan kamera digital ala ¡kadar¢-nya, posisi saya duduk tentu kurang mendukung.

Saya senang dg acara bincang2 dengan Mas Ajie. Pertunjukan teater Pintu 310 STBA LIA? Great. Jempol deh untuk Mas Iwan S. (Bung Kelinci). Penari2nya....ehm. Monolog Cantik Itu Luka? Bikin saya terpesona sama Mbak Maya Sekartaji. Diskusi mengenai novel terjemahan juga seru! Thanks (Mbak?) Shiho Sawai 'n Mas Badri. Pembacaan puisi? Swear, membuat saya untuk pertama kalinya mengerti bahwa ternyata begitu banyak cara berbeda dalam menyampaikan suara hati. Apalagi ketika Mas Yonathan Rahardjo di dakwa untuk ke depan, membawakan puisi ¡aneh¢-nya. Empat jempol Mas! Bukan dengan jempol kaki lho, tapi saya paksa adek saya untuk meminjamkan jempol tangannya.

Pokoknya, deretan acara yang sempat saya ikuti judulnya TOP. Selesai foto2 saya keluar dengan 'rasa' berbeda. Kemana pandangan mata ini hinggap, yang tertangkap adalah senyum dan tawa riang. Baik panitia yang telah sukses menuntaskan kerja keras mau pun sesama anggota milis yang saling berpamitan. Tua muda berbaur. Senior dan junior tanpa jarak. Jabat tangan erat tergenggam. Dari situ lah harapan agar semangat untuk terus berkarya bisa tertular. Dan, satu-satunya door prize yang saya bawa pulang adalah: SEMANGAT!

Akhirnya saya tinggalkan Japan Foundation. Kembali ke habitat. Rumah.

APSAS, Sastra untuk SEMUA!

You Lee

Note: Mas Setiyo, sakitnya tidak berlanjut kan... Mungkin hanya demam panggung wkt trma penghargaan (:


Beberapa hal yang kuingat seputar Pesta Apresiasi Sastra

- sekantong tas plastik penuh makanan tiba-tiba melorot dari atas panggung ketika Danarto yang bermonolog terasuki kekuatan Tuhan. Siapa gerangan aktor dibalik melorotnya tas plastik itu?

- Pertanyaan singkat yang diajukan Binhat Nurrohmat pada waktu diskusi buku Murakami ternyata ada 3 point hingga Mbak Ita Siregar terlihat gemas.

- Bung BK, model paling ganteng sedunia meminta sedikit tepuk tangan ketika Band Class Room nya menyanyikan lagu. Mungkin peserta PAS terlalu asyik menikmati makanan aneka rupa dan tumpeng yang menggiurkan.

- Tiba-tiba sosok Sujono begitu menarik perhatian peserta PAS setelah TP 301 memainkan sepenggal kisah Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang. Berapa tanggal sebenarnya lahir Sujono?

- Hamsad Rangkuti agak kesulitan membaca cerpennya "Hukuman Buat Tom" karena kacamatanya kurang kompromi. Ia juga meminta agar lampu di luar panggung jangan dimatikan, agar ia bisa melihat ekspresi peserta PAS. Ngomong-ngomong, Tom menurut saya nama yang terlalu keren untuk seorang pengemis.

- Karena tak ingin tampil dua kali, Yonathan Rahardjo membaca puisi sambil mengumumkan pemenang esai PAS. Kocak juga.

- Harus menulis novel dulu untuk mendapat doorprize paket flashdisk dkk. Itu terbukti setelah berkali2 diundi ternyata doorprize jatuh pada Titon Rahmawan penulis novel Turquiose dan Yonathan Rahardjo penulis novel Lanang. Harusnya doorprize itu jatuh ke tangan Misbach atau Budi Setyawan, tapi mereka sudah pulang jadi hangus.

- Saya gemetar waktu baca Haiku. Kenapa selalu begitu. Mungkin dalam event-event sastra, panitia harus mulai menunjuk orang yang belum sering tampil di panggung agar terbiasa.

Salam
Setiyo Bardono
Http://setiakata.multiply.com

Long Road To Depok

Selalu ada akhir dalam sebuah pesta. Semuanya mencoba mengais kegembiraan dalam salam perpisahan. Kang Yonathan Rahardjo sibuk mengurusi doorprize yang berjibun menghampirinya. Sihar Ramses Simatupang, saudara kembarnya hanya senyum-senyum saja. Mereka berdua sempat kuledek sebagai pasangan Barry Prima - Advent Bangun, soalnya badannya gede-gede. (Padahal menurut adik saya, penyair nggak pantes kalau badannya gede. Ah ada-ada saja)

Olin masih sibuk saja dengan kameranya. Rita Achdris yang sukses sebagai ketua pelaksana tersenyum lega. Sahlul Fuad hilang dari pandangan, mungkin memberesi panggung. Titon Rahmawan masih membanggakan nasibnya sebagai orang baik hingga dapat doorprize, paket USB dan kroni-kroninya. Onoy Wahyono, yang ternyata mirip Adri Subono terlihat ceria sampai akhir.

Penyair Tombo Ngantuk sepertinya bergegas diamankan pacarnya. Gadis manis yang lupa aku tanyakan namanya juga udah raib entah kemana. Anya, Djorgy dkk, masih sempat memberikan senyum terbaiknya. Urip Herdiman Kambali, sepertinya punya rute sendiri sendiri hingga tak
mau kuajak bareng ke Depok. Arie Saptoaji, sibuk mereka-reka rute ke arah Klender, tapi sia-sia karena temannya sudah nongkrong di depan Gedung Summitmas pake motor.

Shiho, peneliti jepang yang dipanggil Sukhoi oleh Yonathan Rahardjo memandang semuanya dengan senyum ramahnya. Milla dan Fitri, sibuk menjaga garda depan dan melayani pembelian kaos apsas. Yohannes sugianto menghilang dari pandangan. Mang Jamal sudah melepas kimono
dan ngrokok di lantai bawah. Dan siapa lagi ya... Maaf yang luput dari pandangan jangan marah.

Akhirnya aku dan Adi Toha menyusuri jalan Sudirman, soalnya dia masih keder dan tak tahu angkutan ke Cilincing, tempat menginap. Setelah kupastikan tubuhnya ditelan bus menuju Tanjung Priok, aku menyetop kopaja jurusan manggarai dan turun di Komdak kemudian nyambung ke bus jurusan Kampung Rambutan dan turun di Stasiun Cawang.

Turun sempoyongan dan kemudian muntah cairan secawan. Perlu diketahui kondisi badan saya memang sedang tidak fit, dan punggung masih ada bekas kerokan malam sebelumnya. Maaf kalau dalam beberapa sesi acara saya mencoba membaringkan badan dan tidur.

Peron memang dibuat untuk menunggu. Cukup lama hingga krl eko datang. Lumayan lega walaupun tempat duduk sudah terisi semua. Untuk menghindari muntah berkelanjutan, saya duduk di lantai kereta beralaskan sandal tua.

Tak banyak yang naik di stasiun berikutnya mungkin karena bukan hari kerja. Tapi malang, di Stasiun Pasar Minggu, KRL dinyatakan mengalami gangguan dan penumpang harus turun menunggu kereta berikutnya.

Peron Pasar Minggu jadi penuh seketika. KRL yang datang juga sudah penuh hingga tak kuasa menampung limpahan penumpang. Aku jongkok di lantai dan menunggu kereta berikutnya yang alhamdullillah lumayan sepi tapi tak ada space untuk duduk di lantai. Sampai di Stasiun Depok Baru, turun dan muntah secawan lagi.

Untung di angkot menuju Sawangan keadaan badan cukup membaik, walaupun perut kadang mual. Setelah turun dari angkot, berjalan menyusuri gang gelap, menyempatkan buang hajat kecil yang tertahan di pojok kebon belimbing, akhirnya sampai juga di rumah tercinta jam 20.30 malam.

Selamat Ulang Tahun Apsas.

Salam
Setiyo Bardono

Puisi Urip Handiman Kambali, 2007


Puisi Budi Setyawan, 2007


Birahi Laut Dino Umahuk, 2008













Terima Kasih


terima kasih kepada semua kawan2 APSAS yang sudah dengan ikhlas dan tulus membantu terselenggaranya launching Metafora Birahi laut

Om YO makasih dah bersibuk ria sebagai Ketua panitia dedy, sahlul, kawan-kawan panitia lain juga Thanks atas persahabatan dan perkawanan kalian semua yang manis

GITA Makash dah datang jauh2 dari surabaya kang kef makasih dah mau jadi narasumber
kawan Yonathan makasih atas ekplorsi dan lukisannya

kawan-kawan apsas yg sudah meluangkan waktu untuk hadir mohon maaf tak bisa memberikan apa-apa selain harapan akan kekal persahabatan ini.


salam sastra

dino-lia-dede



Re: [*Apresiasi-Sastra*] Terima Kasih

Din...........

makasih Din atas kepercayaan dan kesempatan untuk membaca/melukiskan
puisimu dalam Syairupa di panggungmu...

sukses dan sehat selalu Din..... metafora2 dalam puisi-mu makin
menguatkan kita semua......

makasih buku puisi dan kaosnya yang okepunya.....
makasih enak banget ayam panggang gantari yg nyamnyam-nya
makasih es jusnya yang segerseger
makasih semuanya Din.......

sukses dan sehat selalu Din..... metafora2 dalam puisi-mu makin
menguatkan kita semua......

lanjutkan kawan.............................. makin berkibar ya
kawan..............


sampai buku puisi laut 'biru'-mu di bulan Desember ............

dari
kawan seperjuangan sejak Nubuat Labirin Luka 2005-2006, Pesta Karya Rahmat Ali 2006

yonathan

Setahun Wafatnya AS Dharta, 2008

Di Pusat Dokumentasi HB Jassin, 5 Februari 2008, membacakan puisi Antara Bumi dan Langit

Hari Sastra Nasional Peringatan Chairil Anwar, 2008

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0804/29/hib01.html

Peringatan Wafatnya Chairil Anwar
Inspirasi Karyanya Lebih Panjang dari Rentang Usia


Oleh
Sihar Ramses Simatupang

Jakarta - “Makam Chairil sekarang lebih terawat. Makamnya kini lebih tua dari rentang usianya.
Terlebih lagi semangat berkarya Chairil menjadi inspirasi bagi generasi setelahnya,” kata Ipur Wangsa, satu dari enam sastrawan yang pada pagi harinya sempat menziarahi makam penyair yang wafat pada 28 April 1949.
Pur, sebutan penyair yang juga menjadi salah satu panitia penggagas acara “Kongkow Sastra Planet Senen dan Chairil Anwar” mengungkapkan itu di sela pembacaan yang kemudian digelar di Planet Senen, Jakarta, Senin (28/4) malam. Acara malam itu dihadiri penyair antara lain Imam Ma’arif, Anya Rompas, Viddy AD Daery, Putri Miranda, Exan Zen, Retno Budi Ningsih dan Giyanto Subagio, dan diseling pembacaan biografi Chairil oleh Endo Senggono dari PDS HB Jassin.
Penyair “saluang” Irman Syah dalam orasi budayanya mengatakan bahwa pesan Chairil Anwar dengan petikan syair “kenang, kenanglah kami..” adalah amanah yang mesti dijalankan dengan makna luas. Menurut Irman, kata “kami” bukan berarti personal-individual, tapi lebih mengacu pada kondisi tragik yang dialami anak negeri dengan segala perjuangannya hingga hari ini, bagaimana berkehidupan dan berkemanusiaan yang layak di negeri yang kita cintai ini.
“Seperti halnya Picasso, atau Ankarn Klayanopang, penyair Thailand yang kuat di era ‘60-an, Chairil sudah memastikan dan membuktikan dirinya sebagai Chairil Anwar dan mengatakan ‘kata’ adalah ‘Kebenaran’,” ujar Irman Syah.
Terhadap Pasar Senen, Irman punya ulasan tersendiri: “Pascakemerdekaan Republik Indonesia, Jakarta menjadi pusat pemerintahan. Otomatis, menurut Irman, Jakarta menjadi sasaran utama seniman urban pada masa itu untuk mencapai kesuksesan. Waktu itu masa usai kejayaan Pujangga Lama, Pujangga Baru dan Angkatan 45 menjelang babak baru Indonesia, babak baru kesusastraan dan Kesenian modern Indonesia.
“Peran penting Pasar Senen terletak di jantung ibu kota telah menjadi guru kehidupan bagi para seniman. Tidak hanya sekadar karya sastra atau seni pertunjukan yang mereka alami, tempaan keras kehidupan pasar, serta situasi politik yang sering berubah hingga sampai pada tingkat wilayah inflasi ekonomi,” ujar seniman yang bersama Imam Ma’arif ikut memotori Komunitas Planet Senen (KoP’S) ini.

Teringat Kebangsaan
Kesenian adalah milik bersama dan seniman harus tetap meneruskan semangat dari Chairil. Itulah yang diungkapkan Ketua PKJ Sri Warso Wahono dari tempat yang berbeda namun di hari dan momen perinagatan yang sama. Kali ini peringatan atas mimbar panggung “Hari Sastra Nasional Peringatan Chairil Anwar” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta (28/4) adalah inisiatif para seniman TIM.
“Siapa pun sastrawannya bahkan generasi terbaru pun bisa berapresiasi dan membaca karyanya di atas panggung TIM ini,” ujar Sri Warso dalam momen pembacaan yang digelar sejak pukul 15.00 hingga 21.00 WIB dan diisi dengan Orasi Budaya dari penyair Sutardji Calzoum Bachri itu. Ketua Panitia yang juga sastrawan Remy Novaris DM mengatakan bahwa dunia kesusastraan Indonesia tak lepas dari semangat Chairil Anwar yang menjadi warisan sastra kita, sastra Indonesia, bagaimanapun sejarah yang kini adalah bagian dari sejarah masa kini.
“Dengan gaya apa pun, kreativitas kesenian tetaplah harus dibina. Kita tidak hanya bangkrut ekonomi, sosial dan politik, tapi juga kebudayaan kalau terus dibangun atas kepentingan kelompok,” ujar Remy.
Seorang penyair yang membacakan puisi Perjanjian dengan Bung Karno, mengatakan bahwa mengingat Chairil tak hanya mengingat keliaran dia dalam berkarya, tetapi juga semangat kebangsaannya ketika bersama para nasionalis lain termasuk Soekarno bahkan para senirupawan di antaranya Sudjojono, salah satu tokoh Persagi (Persatuan Tukang Gambar Indonesia, red).
“Membaca karyanya seperti mengingatkan sejarah tentang kebangsaan kita yang tetap aktual hingga masa sekarang,” ujarnya. Pembaca puisi lainnya, Jhoni, seorang seniman yang pernah aktif di Teater Oncor, juga membacakan puisi berjudul “Isa”. Penyair dan deklamator senior pun ikut urun membaca puisi, Yose Rizal Manua, yang saat didaulat dan mengaku memilih membaca karya Chairil tanpa teks.
“Saya sengaja tak membawa teks karena hampir semua karya Chairil saya hafal. Saya membaca puisi ‘Selamat Tinggal’,” ujarnya. Sastrawan lainnya, Imam Mutahrom membacakan puisi-puisi termasuk karya dari Chairil “Cerita buat Dien Tamaela”, lalu karya F Azis Manna “Siti Surabaya”. A Badri AQT membaca puisi Chairil yang berjudul “Sia-sia”. Sedangkan penyair Yonathan Rahardjo membacakan “Dua Sajak buat Basuki Resobowo”. n


Tiba di Taman Ismail Marzuki, kulihat panggung pembacaan puisi sudah berdiri dengan manis di halaman parkir, di depan deretan warung tenda. Rupanya para pengunjung sudah disuguhi atraksi pertunjukan pembacaan puisi-puisi Chairil Anwar sore tadi dan bakal disuguhi pertunjukan puis lagi sampai malam.

Sesuai dengan ajakan panitia agar aku ikut pembacaan puisi Chairil Anwar malamitu, aku pun mendekat dan ikut bergabung pada teman-teman yanhg sudah duduk di tempat masing-masing, di bawah warung tenda itu. Remmy Novaris menulis namaku,dan kulihat berderet-derat nama pembaca malam itu.

Namun,aku lapar, aku pun makan nasi rames di Rumah Makan Padang di deretan warung tendaitu. Sambilmataku tidak lepas memandang teman-teman yang berderet di tempat masing-masing. Aku siapkan diriku,bilamana giliran datang.

Persiapan yang utama adalah menyiapkan mental dan suasana hati agar pembacaan puisi ChairilAnwar dapat kujiwai. Aku lihat puisi-puisi yang disediakan panitia, dengan pinjam fotokopian dari Imam Mutahrom.

Semula aku ingin baca puisi Doa, Kepada Pemilik Teguh yang waktu SD aku juara 1 dalam lomba deklamasi. namun puisi itu tidak ada dalam kumpulan puisi yang disediakan panitia. Lagipula sudah ada pembaca puisi lain yang membacakannya. Maka pilihanku jatuh pada Dua Sajak buat Basuki Resobowo.

Baca Puisi

Baca Puisi

Baca Puisi

Baca Puisi

Baca Puisi

Baca Puisi

Baca Puisi

Baca Puisi

Baca Puisi

Baca Puisi

Baca Puisi

Baca Puisi

Baca Puisi

Baca Puisi