Tuesday, June 12, 2007

HUT Wiji Thukul, 2007



Sore ketika aku sedang online di depan komputer, sebuah telepon masuk ke HP-ku langsung minta aku supaya membaca puisi pada acara uang tahun Wiji Thukul. Aku tanya siapa dia, sebab nomornya tak kukenal. Ternyata temanku sendiri, Idaman Andarmosoko. Aku tanyakan kapan waktu pementasannya, ia jawab besok, 26 Agustus 2007, malam, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Aku langsung jawab, "Siap. Kita dukung setiap pergerakan kebaikan."

Besoknya, siang ketika aku sedang terbaring di tempat tidur di kamar kosku, sebuah telepon pun memanggilku, namun sayang HP-ku tidak dalam kondisi terbaik, sehingga beberapa kali ia telepon aku tak sanggup menjawabnya. Kuminta orang yang menghubungiku itu untuk meng-SMS saja. Aku pun dapat SMS dengan isi sama dengan permintaan Idaman, seperti ia bilang panitia akan menghubunginya. Aku pun menjawab, "Siap. Makasih. Hanya satu kata: lawan!"

Juga seperti yang Idaman bilang, panitia itu ternyata juga minta bila ada teman lain yang ikut berpartisipasi. Aku pun menghubungi Sihar dan Badri melalui SMS. Aku memang punya nama-nama yang lain, namun pada saat ini aku berpikir, pemanggungan baca puisi membutuhkan orang yang bagus bila membacakannya di panggung, bukan sekedar penyair yang pandai menulis namun tidak pandai membacakannya.

Akankah aku membaca puisiku sendiri sebagaimana selama ini kulakukan dalam pembacaan-pembacaan puisi? Ataukah aku membaca puisi Wiji Thukul sebagai penghargaan untuknya pada acara ulang tahun Wiji Thukul ini? Rasanya aku lebih condong untuk membacakan puisi-puisinya, namun aku pun tidak mau semata membacakan sebab aku pun berkarya puisi, sehingga kuputuskan aku membaca dua puisi: satu karya Wiji Thukul dan satu karya puisiku sendiri.

Sebagaimana ada dalam benakku semula, aku pun mempunyai kumpulan puisi jawaban kekacauan, nafas puisi yang sejalan dengan puisi-puisi Wiji Thukul. Kini tinggal aku memilih puisi mana itu, dan puisi Wiji Thukul mana yang akan berdampingan dengan puisiku.

Sementara jaman sudah berubah tidak lagi seperti masa Wiji Thukul masih hidup, kini aku mesti mencari puisi-puisi perlawanan mana yang mewakili kondisi kekinian, di mana penculikan tak lagi terdengar, sepatu lars panjang menginjak kepala tak lagi terdengar, kerusuhan di mana-mana pun tak lagi terdengar, namun ada kondisi-kondisi yang masih memprihatinkan sebagaimana yang ditulis Wiji Thukul dalam puisi-puisinya, seperti halnya puisi yang pernah kutulis!

Kelihatannya aku akan memilih puisiku JakartaKota-Bogor, namun rasanya puisi ini terlalu panjang. Maka aku memikirkan untuk memilih puisiku yang lebih pendek. Yang penting puisi ini sesuai dengan jiwa dalam perjuangan kaum kecil yang telah menjadi perhatian dalam puisi-puisiku dalam Jawaban Kekacauan, dan tentu saja sesuai dengan garis perjuangan Wiji Thukul.

Sedang puisi Wiji Thukul mungkin aku pilih tentang kucing dan orang lapar.

Kucing, Ikan Asin Dan Aku

Seekor kucing kurus
menggondol ikan asin
laukku untuk siang ini
aku meloncat
kuraih
pisau
biar
kubacok ia
biar
mampus

ia tak lari
tapi mendongak
menatapku
tajam

mendadak
lunglai
tanganku
-aku melihat diriku sendiri!

lalu kami berbagi
kuberi ia kepalanya
(batal nyawa melayang)
aku hidup
ia hidup
kami sama-sama makan

(Wiji Thukul)

Atau, setidaknya tiga puisi puncak yang menjadi puisi wajib kaum pergerakan, yaitu Isyarat, Bunga dan Tembok, dan Sajak Suara. Puisi-puisi ini masih relevan sampai saat ini.

Isyarat

Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

(Wiji Thukul)

Bunga dan Tembok

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun tirani harus tumbang!

(Wiji Thukul)


Yang harus menjadi kesadaranku adalah, puisi-puisi Thukul adalah puisi pergerakan melawan kelaliman, puisi perjuangan, puisi anti otoritarian, puisi-puisi yang mengilhami kemerdekaan berdemokrasi bangsa ini, yang juga dibacakan pada aksi-aksi demontrasi di jalanan, perjuangan untuk keadilan, menjadi hiburan bagi masyarakat peserta demontrasi bahkan penontonnya, menjadi penyegar suasana dalam terik panas penuh keringat di jalan-jalan berjubel massa!

Ada perbedaan mendasar antara puisiku JakartaKota-Bogor dengan puisi tentang kemiskinan yang ditulis Wiji Thukul. Ia memang hebat, menulis puisi dengan jiwa tidak pasrah menyerah seperti yang tampak pada puisi JakartaKota-Bogor. Kalau JakartaKota-Bogor yang kubacakan, tentu tidak akan cocok dengan semangat Wiji Thukul. Demikian pula puisi-puisi lainku yang sudah dimuat di media massa.

Bagaimana dengan puisiku tentang Munir? Rasanya sama. Bagaimana puisiku tentang PKI? Rasanya pun sama, kurang ada perlawanan ke luar seperti yang dipuisikan Wiji Thukul. Puisi-puisiku lebih bernuansa perlawanan ke dalam, lebih menonjolkan pergulatan nurani menjadi semacam himbauan kepada diri sendiri dan kepada pihak yang kupuisikan.

Sama-sama ada perlawanan, namun puisiku lebih bernuansa pemahaman situasi dan mempertanyakan agar diri sendiri kuat untuk mengalami dan melakukan pemberontakan dengan kekuatan dalam diri. Sedangkan puisi-puisi Wiji Thukul lebih menggugah perlawanan secara langsung. Dan tentu saja, kalau sudah berbicara konteks ini, apalah artinya aku ini.

Setidaknya aku masih punya banyak puisi di buku Jawaban Kekacauan, yang menyuratkan perlawanan secara langsung. Dan agaknya, di buku yang diterbitkan oleh Penerbit Majas yang lain tak lain adalah diriku sendiri, akan kuambil puisiku itu. Semoga aku berhasil dalam pembacaan kali ini.

Akhirnya aku membacakan sajakku sendiri, kugabung dengan sajak Isyarat-nya Wiiji Thukul, meski seusai pembacaan aku hanya bilang "Wiji Thukul", sebagai penekanan pada sajak Bunga dan Tembok-nya yang kubaca sebagai lanjutan dari sajakku:

Berarak pasukan berhati panas
disiram air bara mentari korupsi
berdentam langkah menuju istana
selesaikan masalah ini!
jangan membisu

bergerak barisan bara hati
didorong angin sayangi negeri
bergaung suara gelegar nurani
tuntaskan korupsi!
jangan menjadi batu...

(Yonathan Rahardjo)

Lalu berlanjut pembacaan puisi Bunga dan Tembok-nya Wiji Thukul. Dengan pembacaan masing-masing dua kali, dimulai dengan pengucapan yang tidak keras, pelan, dengan kecepatan pembacaan wajar, pembacaanku dengan pengulangan ini seperti pengucapan doa umat yang menyukai mantra untuk memberikan efek perasaan yang tersentuh, lebih memaknai dan terkesan pada kata-kata yang diucapkan. Inilah makna dan arti pembacaan pengulangan, seperti doa umat yang diulang-ulang pada Tuhannya.

Sajak 'Berarak Tuntaskan Korupsi' kubaca dua kali. Lalu Bunga dan Tembok juga dua kali. Pembacaan yang tempo dan intonasi-nya memuncak ini, memberikan efek tertentu pada pemahaman, dan puisi pun menjadi sampai kepada penonton, sekaligus mereka diberi suguhan atraksi pembacaan yang memainkan kata-kata, bunyi, nada dan sekaligus gerak tanganyang memegang kertas tulisan yang kubaca, sekalgus gerak kaki dan tubuh.

Tepuk tangan keras dan merata dari seluruh penonton, aku rasakan sebagai sambutan terhadap atraksi baca puisiku, yang bagiku adalah ilmu dan seni tersendiri, dan mesti harus dihayati, dijiwai dan perlu ketekunan berlatih terus-menerus. Tidak seperti pembacaan kali ini yang nyaris kulakukan belum selang satu hari setelah panitia meneleponku ketika aku masih berbaring tidur.. sehingga ketika kuminta komentar A Badri AQT terhadap pembacaanku, satu-satunya kritik darinya adalah: terlalu asyik dengan diri sendiri, kurang menyatu dengan penonton.

Benar juga, meski menurutnya dari segi pembacaan dan sampainya pesan kepada penonton tidak menjadi masalah. (Yonathan Rahardjo)

No comments: