Tuesday, June 12, 2007

Labirin Luka Munir, 2005

DI-MUNIR, DI LABIRINNYA
Daun dedaun tak lagi hijau segar
coklat tua warnanya jalari sluruh kuning muka
Kering, retas dan lapuk
Luruh dan jatuh, melayang, lemas,
mati.

Dedaunan musim gugur nan layu di tanah putih
jemput matimu
tanpa penjelasan hakiki
di atas garuda bersayap hitam misteri
tembus kabut emas
kedok dari kain gombal
Sisakan mahakuatnya kuasa
menggurita
Melilit
Sedot sumsum tulang sampai kering
sisakan mata pincing
cacah curiga
sesak selidik
Merengas darah kering
Makin kilap
Silaukan mata
Tumbuh sehat merdeka bersama.
Yang kau
jaga sedari lahir
kelola selaksa waktu
juangkan sejurus mata
gegapkan
Tembus malam
kilatkan terik siang
Hak Azasi Anak-anak Manusia
Dengan handai taulan
dan
Istri
tercinta

Yonathan Rahardjo/ Jakarta, 8 Nopember 2005
Buku Antologi Puisi untuk Munir Nubuat Labirin Luka, Sayap Biru, Aceh Working Group, 2005





Sebuah Sajak Luka buat Munir


oleh Sihar Ramses Simatupang
Sinar Harapan/ Sabtu, 10 Desember 2005

JAKARTA – Simpati pada Munir nyaris dimiliki setiap orang yang peduli pada perjuangan kebenaran dan hak asasi manusia. Itulah yang terlihat dalam antologi buku puisi simpati buat Munir berjudul “Nubuat Labirin Luka-Antologi Puisi Untuk Munir“ yang akan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin, Minggu (11/12}.

Buku yang pada sampul depannya berisi teks-teks huruf memunculkan siluet wajah Munir berwarna hitam putih itu, memuat karya 45 penyair. Momen peluncuran ini selain akan didiskusikan oleh Koordinator Kontras Usman Hamid, istri Munir Suciwati, pengamat sastra Asep Sambodja (dosen FIB-Fakultas Ilmu Budaya UI), juga akan digelar pembacaan puisi antara lain oleh penyair Henny Purnama Sari dan Yonathan Rahardjo.

“Kami terbuka untuk pembacaan, juga sedang diusahakan agar Romo Sandyawan ikut membacakan puisinya,” jelas Dino F Umahuk, Koordinator Sayap Baru. Dino F Umahuk mengungkapkan bahwa selain dimaksudkan sebagai apresiasi para penyair terhadap pejuang HAM, juga diharapkan membuka ruang demokrasi, ruang kebebasan berekspresi bagi para penjaga gawang kesusastraan.

“Mereka mengirimkan karya lewat email atau pun mengirimkan langsung kepada saya,” ujar lelaki kelahiran 1 Oktober 1974 ini.Buku yang diterbitkan oleh Aceh Working Group (AWG) dan Sayap Baru ini, memang lebih mengedepankan persoalan tema berkaitan dengan perjuangan Munir yang berkaitan dengan kisah tragisnya.

Rusdi Marpaung, Koordinator AWG, menyambut baik upaya penyair untuk menyuarakan suara hatinya lewat pelurusan sejarah, kebenaran dan keadilan. “Semoga kasus kemanusiaan dan hak asasi manusia dapat dituntaskan agar kita benar-benar menjadi bangsa yang besar sesungguh-sungguhnya,” papar Rusdi.

Berbagai Generasi

Sebanyak 45 penulis yang mengumpulkan karyanya di antologi ini memang lintas angkatan. Beberapa nama antara lain Eka Budianta, Sutan Iwan Soekri Munaf, Sobron Aidit, Saut Situmorang, Hasan Aspahani, Frigidanto Agung, Donny Anggoro, Viddy AD Daery, Nanang Suryadi, Setiyo Bardono, Muhammad Muhar, Mega Vristian, David C Nainggolan, Ben Abel, Denny Ardiansyah, memperlihatkan simpati muncul dari generasi dan kalangan yang berbeda.

Puisi yang disajikan pun beragam, kebanyakan memang naratif. Beberapa karya ada yang punya efek liris. Contohnya, salah satu petikan sajak dari puisi “Doa Dalam Kubur” karya penyair S Yoga: Tuhan/di dalam kubur/perkenankan aku berdoa bagi mereka/untuk mengusut benang kusut/untuk mengurai kejelasan perkara/beri mereka kebebasan kata-kata sebening telaga/beri mereka kebebasan bicara seluas samudera.

Bahkan, pelajar yang masih menjalani sekolah menengah atas pun, Bimo Dirgantara Putra, ikut menuangkan karyanya dalam antologi itu. Isi di dalam puisi berjudul “Omku Munir Sudah Pergi” cukup menarik: Ada pesawat melintas di atas kepalaku/seorang bocah berteriak//”itu bapakku, mau sekolah ke Belanda//Kudongakkan kepala/Aku ikut bertepuk riang/Tiba-tiba awan hitam pekat menutup pandang mata/Guntur meledakkan sunyi/Seorang bocah menangis ngilu.

Menurut Dino, sekali pun momen penerimaan karya memang cukup singkat dua minggu lebih, sejak pertengahan November, namun karya mereka sangat variatif. Ini dapat dilihat dari titi mangsa tiap puisi dalam buku ini yang berbeda.Sebelumnya, buku ini pernah diluncurkan di Tenda Putih, Victoria Park, Hongkong (27/11) dibahas oleh Suciwati dan Sitok Srengenge.

Setelah peluncuran di Jakarta, menurut Dino F Umahuk, rencananya masih akan dilanjutkan dengan diskusi karya pada beberapa kota besar antara lain Bandung, Surabaya dan Malang.(srs)

kirim email ke: yonathanrahardjo@yahoo.com

No comments: