Tuesday, June 12, 2007

Komnas HAM, 2005



Memperingati HUT HAM dari Perspektif Budayawan

oleh: Sihar Ramses Simatupang
Sinar Harapan Selasa, 27 Desember 2005

Jakarta – Kebebasan dan keleluasaan pameran seni, pers yang bebas juga penerbitan buku pada pasca reformasi tidak akan berarti banyak jika tidak diimbangi penciptaan infrastruktur yang memadai dan fasilititas publik yang cukup dan strategis.

Hal itu yang dikemukakan oleh sastrawan Radhar Panca Dahana dalam salah satu sesi diskusi yang bertema Budaya dalam Perspektif Hak Asasi Manusia yang diadakan oleh Komnas HAM Sub-Komisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta (23/12).

Radhar, yang ditempatkan dalam Sesi II bersama pengamat seni Edi Setyawati dan Sri Warso Wahono itu kemudian membeberkan ironi bagaimana fenomena itu lebih kepada perluasan pasar. Dalam makalahnya, Radhar menyebutkan betapa masyarakat menjadi saksi bahwa negara masih begitu getol menarik pajak honorarium penulis yang didapat jauh dari kebutuhan minimum.

Negeri yang kalah, begitu kiasan Radhar saat menyorot masalah seni, kebudayaan bahkan pendidikan di negara ini. Hal itu bila dia hubungkan dengan bagaimana negara yang belum cukup memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya pada pendidikan, rumah dan pangan lantas menggencet dengan kebijakan ekonomi yang menyengsarakan.

Sri Warso Wahono kemudian menjabarkan kapitalisme global yang di sisi lain menggempur kondisi negara sehingga mengakibatkan pergeseran di masyarakat, dari karakter yang bergotong royong dan kebersamaan menjadi karakter individualitik, konsumerisme dan kapitalistik. Seperti lingkaran pesimisme dalam lingkaran seni dan kebudayaan Indonesia, dengan pertanyaan: “Ketika simpul penentu kreativitas ditumpulkan oleh perubahan pranata hidup, tanpa kekuatan fondasi budaya yang kuat, apakah kreativitas masih bisa diharapkan?

Edi Sedyawati, lebih menanggapi persoalan seniman dalam konteks kebangsaan kepada persoalan identitas, termasuk antara suku bangsa dan nasionalisme yang ada. Termasuk fenomena media budaya elektronik, televisi, komputer yang bersifat massa dan populer, industri budaya besar banyak yang dilokalisasi dengan warna lokal demi merebut pasar, sedangkan produk Indonesia banyak juga yang telah menjadi epigon dari resep produk budaya negara industri maju. Negara, Intelektual dan Seniman.

Diskusi yang diisi dengan pembacaan puisi antara lain oleh Yonathan Rahardjo itu diadakan sehubungan peringatan Universal Declaration of Human Rights 10 Desember 1948 itu. Diskusi, memang lebih mengarah kepada dua hal, pertama dari sisi internal kebudayaan itu sendiri, sedangkan kedua lebih mengarah pada faktor eksternal kebudayaan yang terkait soal hukum, kondisi sosial-politik kenegaraan.

Pembicaraan pada Sesi I yang menghadirkan Mudji Sutrisno, Garin Nugroho dan Habib Chirzin membicarakan persoalan eksternal dari obyek seni seperti agenda pasca ratifikasi ICESCR (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights). Intinya pengusahaan berupa perlindungan terhadap hak atas seni dan budaya. Hal itu perlu diratifikasi dan dilaksanakan secara tegas dalam pelaksanaan peraturan dan undang-undang, termasuk hak-hak sipil dan politiknya.

Pada pasal 15 ICESCR itu, tercantum bahwa negara mengakui setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, menikmati manfaat kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya, memperoleh keuntungan dan perlindungan atas kepentingan moral dan material yang didapat dari karya ilmiah, sastra atau seni apa pun yang telah diciptakannya. Juga negara berjanji untuk menghormati kebebasan mutlak yang diperlukan untuk penelitian ilmiah dan kegiatan kreatif. *

kirim email ke: yonathanrahardjo@yahoo.com

No comments: