Tuesday, June 12, 2007

Membaca Setiyo, 2007

Landung Membaca Pinurbo, Yonathan Membaca Setiyo

oleh Setiyo Bardono

Apa yang terjadi ketika sebuah panggung yang sudah ditinggalkanpenyairnya, tidak segera berkemas? Ternyata ada beberapa penyair diluar panggung yang tiba-tiba berkemas menggelar pertunjukan yang takterduga. Maka ketika Landung selesai membaca Pinurbo, Yonathan lantang membaca Setiyo. Lho bagaimana bisa?Tentu saja acara Yonathan Membaca Setiyo tidak ada dalam agenda,bahkan tidak terbersit sedikitpun sebelumnya. Pengunjung Toko BukuAksara, Kemang malam itu (25/5) sengaja datang untuk menghadiri acara peluncuran buku terbaru penyair Joko Pinurbo bertajuk Landung Membaca Pinurbo.

Malam menjadi hangat ketika Penyair Landung Simatupang mulai membaca puisi-puisi Joko Pinurbo yang terangkum dalam kumpulan puisi KepadaCium dan kumpulan antologi Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung. Beberapa penyair terpancing untuk ikut membaca puisi, apalagi ada hadiahnya. Ya, siapa yang tidak berminat membaca Pinurbo.

Tapi panggung harus bungkam tersihir mantra penghabisan pembawa acara. Kata-kata penutup ternyata memang lebih sakti. Mungkin karena pembawa acara sudah begitu akrab dan memahami kegelisahan sang waktu, sementara penyair banyak yang lupa waktu dan insomnia.Selalu ada acara tak resmi di sebuah pertunjukan. Joko Pinurbo kemudian sibuk dikerumuni wartawan dan dimintai tanda tanganpenggemar. Landung Simatupang berbincang-bincang dengan entah siapa,mungkin teman lama. Panggung yang ditinggalkan empu-nya tak juga berkemas.

Panggung yang kosong itulah yang menggelitik penyair Sahlul Fuaduntuk mengisinya dengan peluncuran buku puisi Setiyo Bardono,Mengering Basah. Ide itu diamini oleh Yonathan Rahardjo dan beberapa penyair yang sedang berbincang-bincang sambil lesehan. Sebetulnyaide nekad itu muncul setelah pertanyaan kapan buku Mengering Basahakan diluncurkan tak jua bisa dijawab oleh penulisnya. Jadi mengapa tidak sekarang saja?

Setelah meminta ijin, peluncuran nekad itu ternyata mendapat restudari Vivian, sang tuan rumah. Tanpa basa-basi, dengan gaya yang cengengesan Sahlul Fuad segera menguasai panggung dan memintaperhatian pengunjung tentang acara peluncuran dadakan Buku AntologiPuisi Mengering Basah. Sepertinya penyair satu ini memang berbakatmemimpin event organizer. Kelak mungkin akan ada SaFu-SaFu (SahlulFuad) Production. Kita doakan saja.

Yang mendadak-mendadak biasanya bisa menjadi seru. Apalagi ketikapenyair-penyair yang turut menyemarakkan acara tampil apa adanya. Puisi Balai Sarbini yang dibacakan begitu memukau oleh penyair Yonathan Rahardjo harus mengalami jeda sejenak karena sang penyair harus menyeka mulutnya karena, "muncrat." Puisi Peniti pun mengalaminasib yang sama karena pembacanya, Pakcik Ahmad harus mengangkattelepon genggam-nya yang tiba-tiba menjerit. Kegelisahan dari rumahmemang harus segera dijawab. Sebuah peristiwa yang sepertinya takakan pernah ada dalam acara peluncuran buku dimanapun.

Yang mulus tanpa gangguan teknis adalah pembacaan puisi MenanamJagung oleh penyair Dedi Try Riyadi. Bangwin dari ArusKata Pressterlihat santai dalam mengucapkan sepatah kata dari penerbit. Yangpaling panas dingin tentu saja penulis buku Setiyo Bardono. Kalau dilagu dangdut pasti syairnya berbunyi, "Mukamu pucat rambut acak-acakan."Tentu saja lelaki yang satu ini tidak siap mental menghadapi acaradadakan itu. Tangannya gemetaran ketika membaca puisi, apalagisebagaimana diakui olehnya bahwa malam itu dalam saat pertama membaca puisi di depan forum. Tangan gemetar itu sebenarnya efeklanjutan dari todongan menandatangani buku puisi oleh beberapa orangyang membeli buku itu di sela-sela acara Landung Membaca Pinurboberlangsung. Alhamdullillah 15 buku yang dibawa Bangwin, sold out.

Acara Yonathan Membaca Setiyo kemudian dilanjutkan dengan wisatakuliner beberapa penyair Pakcik Ahmad, Bangwin, Dedy Tri Riyadi,Kinu (?), Inez Dikara dan Widy, di warung bubur ayam di jalanBarito. Rasa bubur ayam semakin gayeng setelah penyair JohannesSugianto menyusul sambil membawa Joko Pinurbo. Sayang stok buburayam sudah habis hingga Joko Pinurbo terpaksa memesan Siomay.

Tapi acara tidak berlanjut menjadi Jokpin Membaca Siomay, karena adabanyak hal yang dibicarakan, termasuk cerita pengalaman Jokpin waktuDialog Tujuh Jam dengan topik "Puisi dan Mistik". Seperti pembawaacara sebelumnya, tenyata penjual bubur dan penjual disekitarnyajuga begitu akrab dan memahami kegelisahan sang waktu, sementarapenyair kadang lupa waktu. Maka isyarat dari tenda-tenda lain yangsudah dibongkar memaksa penyair-penyair itu membubarkan diri.

Malampun semakin larut bersama kenangan yang tidak mungkinterlupakan.

Depok, 27 Mei 2007
Setiyo Bardono

#Terima kasih atas dukungan dan perhatian yang tak terhingga dariteman-teman penyair

No comments: