Tuesday, June 12, 2007

Hari Sastra Nasional Peringatan Chairil Anwar, 2008

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0804/29/hib01.html

Peringatan Wafatnya Chairil Anwar
Inspirasi Karyanya Lebih Panjang dari Rentang Usia


Oleh
Sihar Ramses Simatupang

Jakarta - “Makam Chairil sekarang lebih terawat. Makamnya kini lebih tua dari rentang usianya.
Terlebih lagi semangat berkarya Chairil menjadi inspirasi bagi generasi setelahnya,” kata Ipur Wangsa, satu dari enam sastrawan yang pada pagi harinya sempat menziarahi makam penyair yang wafat pada 28 April 1949.
Pur, sebutan penyair yang juga menjadi salah satu panitia penggagas acara “Kongkow Sastra Planet Senen dan Chairil Anwar” mengungkapkan itu di sela pembacaan yang kemudian digelar di Planet Senen, Jakarta, Senin (28/4) malam. Acara malam itu dihadiri penyair antara lain Imam Ma’arif, Anya Rompas, Viddy AD Daery, Putri Miranda, Exan Zen, Retno Budi Ningsih dan Giyanto Subagio, dan diseling pembacaan biografi Chairil oleh Endo Senggono dari PDS HB Jassin.
Penyair “saluang” Irman Syah dalam orasi budayanya mengatakan bahwa pesan Chairil Anwar dengan petikan syair “kenang, kenanglah kami..” adalah amanah yang mesti dijalankan dengan makna luas. Menurut Irman, kata “kami” bukan berarti personal-individual, tapi lebih mengacu pada kondisi tragik yang dialami anak negeri dengan segala perjuangannya hingga hari ini, bagaimana berkehidupan dan berkemanusiaan yang layak di negeri yang kita cintai ini.
“Seperti halnya Picasso, atau Ankarn Klayanopang, penyair Thailand yang kuat di era ‘60-an, Chairil sudah memastikan dan membuktikan dirinya sebagai Chairil Anwar dan mengatakan ‘kata’ adalah ‘Kebenaran’,” ujar Irman Syah.
Terhadap Pasar Senen, Irman punya ulasan tersendiri: “Pascakemerdekaan Republik Indonesia, Jakarta menjadi pusat pemerintahan. Otomatis, menurut Irman, Jakarta menjadi sasaran utama seniman urban pada masa itu untuk mencapai kesuksesan. Waktu itu masa usai kejayaan Pujangga Lama, Pujangga Baru dan Angkatan 45 menjelang babak baru Indonesia, babak baru kesusastraan dan Kesenian modern Indonesia.
“Peran penting Pasar Senen terletak di jantung ibu kota telah menjadi guru kehidupan bagi para seniman. Tidak hanya sekadar karya sastra atau seni pertunjukan yang mereka alami, tempaan keras kehidupan pasar, serta situasi politik yang sering berubah hingga sampai pada tingkat wilayah inflasi ekonomi,” ujar seniman yang bersama Imam Ma’arif ikut memotori Komunitas Planet Senen (KoP’S) ini.

Teringat Kebangsaan
Kesenian adalah milik bersama dan seniman harus tetap meneruskan semangat dari Chairil. Itulah yang diungkapkan Ketua PKJ Sri Warso Wahono dari tempat yang berbeda namun di hari dan momen perinagatan yang sama. Kali ini peringatan atas mimbar panggung “Hari Sastra Nasional Peringatan Chairil Anwar” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta (28/4) adalah inisiatif para seniman TIM.
“Siapa pun sastrawannya bahkan generasi terbaru pun bisa berapresiasi dan membaca karyanya di atas panggung TIM ini,” ujar Sri Warso dalam momen pembacaan yang digelar sejak pukul 15.00 hingga 21.00 WIB dan diisi dengan Orasi Budaya dari penyair Sutardji Calzoum Bachri itu. Ketua Panitia yang juga sastrawan Remy Novaris DM mengatakan bahwa dunia kesusastraan Indonesia tak lepas dari semangat Chairil Anwar yang menjadi warisan sastra kita, sastra Indonesia, bagaimanapun sejarah yang kini adalah bagian dari sejarah masa kini.
“Dengan gaya apa pun, kreativitas kesenian tetaplah harus dibina. Kita tidak hanya bangkrut ekonomi, sosial dan politik, tapi juga kebudayaan kalau terus dibangun atas kepentingan kelompok,” ujar Remy.
Seorang penyair yang membacakan puisi Perjanjian dengan Bung Karno, mengatakan bahwa mengingat Chairil tak hanya mengingat keliaran dia dalam berkarya, tetapi juga semangat kebangsaannya ketika bersama para nasionalis lain termasuk Soekarno bahkan para senirupawan di antaranya Sudjojono, salah satu tokoh Persagi (Persatuan Tukang Gambar Indonesia, red).
“Membaca karyanya seperti mengingatkan sejarah tentang kebangsaan kita yang tetap aktual hingga masa sekarang,” ujarnya. Pembaca puisi lainnya, Jhoni, seorang seniman yang pernah aktif di Teater Oncor, juga membacakan puisi berjudul “Isa”. Penyair dan deklamator senior pun ikut urun membaca puisi, Yose Rizal Manua, yang saat didaulat dan mengaku memilih membaca karya Chairil tanpa teks.
“Saya sengaja tak membawa teks karena hampir semua karya Chairil saya hafal. Saya membaca puisi ‘Selamat Tinggal’,” ujarnya. Sastrawan lainnya, Imam Mutahrom membacakan puisi-puisi termasuk karya dari Chairil “Cerita buat Dien Tamaela”, lalu karya F Azis Manna “Siti Surabaya”. A Badri AQT membaca puisi Chairil yang berjudul “Sia-sia”. Sedangkan penyair Yonathan Rahardjo membacakan “Dua Sajak buat Basuki Resobowo”. n


Tiba di Taman Ismail Marzuki, kulihat panggung pembacaan puisi sudah berdiri dengan manis di halaman parkir, di depan deretan warung tenda. Rupanya para pengunjung sudah disuguhi atraksi pertunjukan pembacaan puisi-puisi Chairil Anwar sore tadi dan bakal disuguhi pertunjukan puis lagi sampai malam.

Sesuai dengan ajakan panitia agar aku ikut pembacaan puisi Chairil Anwar malamitu, aku pun mendekat dan ikut bergabung pada teman-teman yanhg sudah duduk di tempat masing-masing, di bawah warung tenda itu. Remmy Novaris menulis namaku,dan kulihat berderet-derat nama pembaca malam itu.

Namun,aku lapar, aku pun makan nasi rames di Rumah Makan Padang di deretan warung tendaitu. Sambilmataku tidak lepas memandang teman-teman yang berderet di tempat masing-masing. Aku siapkan diriku,bilamana giliran datang.

Persiapan yang utama adalah menyiapkan mental dan suasana hati agar pembacaan puisi ChairilAnwar dapat kujiwai. Aku lihat puisi-puisi yang disediakan panitia, dengan pinjam fotokopian dari Imam Mutahrom.

Semula aku ingin baca puisi Doa, Kepada Pemilik Teguh yang waktu SD aku juara 1 dalam lomba deklamasi. namun puisi itu tidak ada dalam kumpulan puisi yang disediakan panitia. Lagipula sudah ada pembaca puisi lain yang membacakannya. Maka pilihanku jatuh pada Dua Sajak buat Basuki Resobowo.

No comments: